Sudah lima bulan kami keluarga pindah ke sini.
Sebuah desa di pedalaman Sumatra Selatan. Ayahku seorang dokter, ia dilahirkan
dan dibesarkan di desa ini. Karena itulah, ayah bersedia dipindahkan. Katanya,
ia ingin mengabdi pada tanah kelahiran. Kami menempati rumah kakek yang sudah
meninggal dua tahun lalu. Awalnya saat masuk rumah kakek, aku merasa ada yang
tidak asing dari tempat ini. Padahal, baru pertama kali ini aku pergi dan
menempati rumah kakek ini. Keadaan rumah ini masih seperti rumah-rumah pada
zaman dahulu yang masih memakai peralatan kuno. Tetapi disini suasananya masih hijau dan berhawa
sejuk sekali. Beda banget dengan di kota yang sangat panas dan banyak polusi.
Di sekolah
baruku aku agak susah menyesuaikan diri. Aku bahkan belum mengenal semua teman
sekelasku saat ini. Aku lebih suka menyendiri dan membaca buku di perpustakaan.
Aku menderita leukimia sejak kecil, aku merasa badanku selalu lelah dan wajahku
selalu pucat. Aku sudah pergi ke beberapa tempat untuk berobat dan sudah banyak
dokter yang berusaha menyembuhkanku, termasuk ayahku sendiri. Namun, hasilnya
sama saja. Dan aku tahu mungkin hidupku takkan lama lagi.
Hari ini merupakan hari ke-tiga
aku tidak masuk sekolah. Penyakitku kambuh lagi. Di rumah aku merasa kesepian
karena hanya ada aku seorang. Ayah sedang bekerja dan ibu sedang berbelanja
kebutuhan rumah. Sudah dua hari yang lalu ibu tidak ke pasar karena menjagaku
yang sedang sakit. Namun, hari ini aku sudah agak baikan jadi kukatakan pada
ibu, tidak usah terlalu mengkhawatirkan dengan keadaanku. Di kamar aku hanya
bisa berbaring sambil membaca buku untuk menghilangkan kebosananku. Namun, itu
tetap saja tidak menghilangkan kebosananku dan tiba tiba aku punya ide. Mengapa
aku tidak ke lantai atas ? Rumah ini terdiri atas dua lantai. Sebenarnya
sebelumnya ayah sudah memberitahuku bahwa aku tidak bolek naik ke atas. Katanya
tempat itu berbahaya. Ah, mungkin ayahku terlalu berlebihan kan aku anak
laki-laki berumur 14 tahun. Aku pun menaiki tangga menuju ke lantai dua, saat
sampai di atas aku terkejut. Di satu sudutnya terdapat tempat tidur dan kursi
yang ditutupi dengan kain putih. Juga sebuah rak penuh berisi buku. Buku adalah
temanku sejak kecil. Aku mulai mendekati rak buku itu dan mulai membuka
buku-buku itu yang penuh dengan debu. Karena debu itu begitu tebal, aku meniup
debu itu untuk membersihkannya. Namun, tiba-tiba seorang anak perempuan ada di
depanku dan menghampiriku. Sontak aku terkejut dengan kedatangan gadis itu. Dan
kelihantannya ia sebaya denganku.
“Siapa
kamu?” tanyaku terkejut dan marah.
“Aku tahu
kamu bisa melihatku.” suaranya lembut terdengar.
“Apa
maksudmu ? Aku kan tidak buta !” suaraku meninggi dan keheranan.
“Aku tahu,
hanya orang tertentu yang bisa melihatku.”
“Maksutya?”
“Kamu
masih tidak mengerti?”
Ketika berbicara dengannya. Aku
melihat pakaiannya, kelihatannya modelnya agak kuno. Dengan baju bermotif polos
dan rambut yang terurai.
“Masih
tidak percaya ?” katanya.
“Namaku
Karina Rahardi. Dulu ini adalah kamarku.”
Rahardi ?
itukan nama keluarga ayahku. Tiba-tiba aku teringat dengan cerita ayah.
“Ayah
pernah cerita tentang Karina Rahardi. Kau…. Adik ayah?”
Gadis itu
mengangguk
“Kau benar
Faris.”
“Hei kau
tahu namaku?!”
“ Tentu saja. Aku tahu semuanya tentang dirimu .“ pandang
Karina tertuju dengan buku yang kubawa. Sebuah buku karya Hemingway.
“Kamu juga
suka karyanya.” tanyaku
“Ya, waktu
masih hidup, aku suka membacanya, itu buku favoritku.”
Aku
tersenyum ternyata kita mempunyai selera yang sama.
“Kenapa
kamu mninggal?” Karina tampak sedih setelah endengar pertanyaanku.
“Aku
menderita leukimia. Sam denganmu. Iya, kan?” aku mengangguk.
“Mungkin
sebentar lagi aku menyusulmu. Semua dokter bilang begitu, kecuali ayahku…”
“Apa kamu
pikir, dokter yang menentukan hidup dan matimu?” Karina tampak marah.
“Kamu
masih punya kemungkinan untuk hidup selama Tuhan mengizinkan. Mungkin seratus
atau seribu tahun lamanya.”
Aku terdiam. Dalam hati aku membenarkan kata-kata dari gadis
itu.
“Apa
cita-citamu?” tanyanya.
Aku
menghela napas dan menjawab, “Aku tak punya cita-cita, karena tidak punya waktu
untuk mempikirkan semua itu dan aku merasa aku tidak bisa mencapainya. Aku
hanya bisa berbaring di tempat tidur dan sambil menunggu ajalku tiba.”
Ada
perasaan takut dalam diriku saat aku mengatakan kalimat terakhirku tadi. Karina
tersenyum
“Kau
seperti ku dulu, Ris. Tidak punya teman juga cita-cita. Hanya saja, aku segera
menyadari kesalahanku.”
“Kesalahan?”
tanyaku.
“Ya,
kesalahan terbesar dalam hidupku, hidupmu. Aku dulu juga takut memiliki
cita-cita, tapi kuberanikan diriku. Dengan memiliki cita-cita, kau akan meras
hidupmu lebih berarti. Meski hidupmu tak akan lama lagi.” Sejenak ia terdiam.
“Kau anak yang pintar, Ris. Tapi apa gunanya pintar, jika
tidak kamu gunakan dengan sebaik mungkin. Hidpmu tidak akan berarti.”
Tiba-tiba
saja aku merasa begitu bodoh, karena telah menyia-nyiakan hidupku. Dan sekarang
Karina telah menyadarkanku. Kini, kurasa ada kekuatan baru yang masuk dalam
diriku.
“Faris…….”
Terdengar suara ayah memanggilku. Kulihat Karina. Dari matanya aku tahu, ia
menyuruhku untuk turun menemui ayahku.
“Apa kita
bisa bertemu kembali?”
Karina
menggeleng. Aku merasa sedih dengan jawabannya.
“Kau pasti
akan mendapatkan teman yang lebih baik, Ris! Bukan seperti aku.”
Ketika hampir di tangga aku berbalik.
Kemudian Karina berkata,“ Dulu aku ingin jadi pengacara. Tetapi aku tidak
merasa sia-sia walaupun aku tidak berhasil mencapainya.”
Kami
sama-sama tersenyum. Dan lama-kelamaan Karina mulai menghilang. Kulambaikan
tanganku padanya. Aku bergegas menuruni tangga. Kulihat ayah bersiap-siap untuk
memarahiku. Namun, berubah pikiran setelah aku mengatakan.
“Ayah,
ibu, aku ingin jadi penulis terkenal seperti Hemingway. Aku ingin menulis kisah
hidupku sendiri.” Ayah dan ibu terkejut setelah mendengarkan perkataanku.
Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Ayah memelukku dan berkata,” Faris ayah akan
mendukungmu.” Kami bertiga tertawa gembira. Dan entah kenapa aku merasa bahwa
ayah mungkin sudah mengetahui semua kejadian di lantai atas tadi. Mungkin ayah
sudah mengerti jawabannya
Terima kasih Karin. Kau telah
membuat aku sadar tentang makna hidup yang sebenarnya. Bukan berapa lama kau
hidup, tetapi apa yang kau lakukan dalam hidupmu.
Karya : Aprilia B. Suandi
Kak boleh g ajarin aq ngeblog bwt pemula. Aq ud pnya blogger tpy masi belum paham
BalasHapus